Search This Blog

Monday, August 15, 2016

Adat dan Upacara Perkawinan Suku Dayak


Adat perkawinan suku Dayak
Seorang ***** Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang ***** itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain.

Upacara Perkawinan Masyarakat Etnik Dayak Ngaju Dalam Kajian Adat

Ritual perkawinan masyarakat Dayak tidak hanya mengandung nilai-nilai religi tetapi juga mengandung aspek budaya karena kedua hal itu saling keterkaitan erat dan hampir tidak dapat kita bedakan dikarenakan kultur masyarakat Dayak yang unik. Aspek budaya dalam ritual perkawinan ini dapat kita lihat dari beberapa tahapan yang terdapat dalam prosesi perkawinan masyarakat Dayak Ngaju seperti adanya proses Hakumbang Auh dan Maja Misek (memupuh), dimana pada tahapan ini budaya musyawarah untuk mufakat sangat kental terlihat selain itu menjadikan ikatan kekeluargaan semakin erat. Kemudian pada saat hari perkawinan, sebelum mempelai laki-laki memasuki rumah pihak perempuan adanya acara penyambutan berupa berbalas pantun, tari-tarian serta pencak silat daerah Kalimantan Tengah untuk memutus halangan yang berupa Pantan atau yang lazim dikenal oleh masyarakat Dayak dengan nama Lawang Sakepeng  Dalam tradisi masyarakat Dayak Ngaju pelaksanaan upacara perkawinan tidak mudah dan tidak bisa secepatnya untuk mengambil suatu keputusan, tetapi harus dimusyawarahakan oleh keluarga besar, karena keluarga juga merupakan penentu dalam pengambilan keputusan. Semua yang menyangkut tahapan dan persyaratan perkawinan  akan disesuaikan dengan aturan adat agar semua proses pelaksanaan berjalan sesuai dengan rencana keluarga. Perkawinan yang ideal bagi masyarakat Dayak Ngaju, adalah perkawinan dengan sistem meminang karena mempunyai rangkaian yang sangat panjang.  Dalam tata cara perkawinan masyarakat Dayak ini terdapat sedikit pertentangan pendapat tentang apakah tata cara itu adat atau agama, namun jika kita kembali ke sejarah awal masyarakat Dayak yang awalnya adalah penganut agama Helu atau Kaharingan sudah barang tentu tata cara perkawinan yang ada merupakan tradisi religi asli Kaharingan bukan sekedar adat  atau kebiasaan. Selain itu jika kita melihat pemahaman masa lalu masyarakat Dayak sebelum masuknya agama-agama ke  tanah Dayak, maka kata adat dipahami sebagai sebuah tradisi leluhurnya sebagai adat yang adi luhung sebagai penjaga keharmonisan hidup yang harus dilaksanakan atau sebagai sebuah keyakinan. Sehingga sampai sekarang dalam praktek kehidupannya masyarakat Dayak yang sudah menganut agama-agama baru tetap menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka menganggap itu adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan atau dengan bahasa sederhana yaitu adat. Hal ini dapat kita lihat dalam tata cara upacara perkawinan masyarakat Dayak yang telah beralih keyakinan ke agama Kristen, kecuali yang menganut agama Islam, masih melaksanakan sesuai tradisi leluhur walaupun dengan menghilangkan beberapa bagian menyesuaikan dengan agama yang mereka anut. Dari kenyataan di lapangan kita bisa melihat batasan mana pelaksanaan yang keterkaitan dengan ritus perkawinan suku Dayak Ngaju yang bermula dari tradisi religi Kaharingan yang awalnya disebut dengan agama Helu dengan yang dianggap adat. Dalam tata cara perkawinan yang dianggap sebagai adat yaitu tahapan Hakumbang Auh,mamanggul atau  Maja Misek ,pelaksanaan upcara Perkawinan seperti : Panganten Haguet, Panganten Lumpat atau Mandai, Mambuka Lawang Sakepeng, Mamapas serta Haluang Hapelek, yang merupakan acara menagih Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita juga dilaksanakan yang kemudian dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan surat perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan oleh hadirin yang dilanjutkan dengan upacara Tampung Tawar (Pemercikan air/tirta). Sedangkan untuk upacara Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai), yang merupakan inti upacara perkawinan sebagai upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat Hindu Kaharingan etnik Dayak Ngaju tidak dilaksanakan oleh masyarakat Dayak etnik Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan, namun pemberkatan atau pengukuhannya dilaksanakan menurut tata cara agama yang dianutnya.
Prosesi makan makanan yang disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri. Yang dilanjutkan dengan kedua mempelai berjalan menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukie (pekikan) sebanyak tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat. Yang dilanjutkan dengan prosesi penanaman pohon Sawang (Ponjon Andong). Beberapa urutan acara tersebut tidak dilakukan oleh yang masyarakat Dayak non Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Selain itu prosesi pasca perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai , seperti Maruah Pali juga tidak dilaksanakan. Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan. Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah :
  1. Melakukan hubungan suami istri
  2. Mengadakan perjalanan jauh
Yang dilaksanaan hanya pada prosesi upacara Pakaja Manantu. Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki pasangan hidup.
Beberapa bagian yang dihilangkan tersebutlah yang membedakan antara tata cara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang dilaksanakan oleh umat Hindu kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak menganut agama Hindu Kaharingan lagi.

Gambar  1.1



No comments:

Post a Comment