Search This Blog

Tuesday, July 26, 2016

Sejarah Riasan Pengantin Sunda Putri Siger



A. Faktor yang mempengaruhi
1.  Pengaruh Agama Islam
Pengaruh agama Islam yang masuk ke daerah Sunda pada abad ke 14 juga mempengaruhi pakaian pengantin. Contoh adanya baju Taqwa merupakan salah satu pengaruh Islam dari kata Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, baju ini sekarang dikenal dengan " Baju Taqwa "
Baju Kampret tidak memakai kancing karena pada jaman itu dianggap tidak pantas dipakai untuk bertaqwa/menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

2.  Pengaruh Kebudayaan Jawa
Pada waktu orang orang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur terutama dari Yogya dan Solo berdatangan masuk ke daerah Sunda, dengan membawa kebudayaannya, pakaian sarung tenun dan kebat tenun agak terdesak oleh Batik. Begitu pula yang memakai Kujang, lambat laun diganti dengan Keris, tapi tidak semuanya
Tutup kepala Bendo Jawa mulai banyak, sampai orang sunda sendiri bisa menciptakan Bendo Sunda, jadi ada perbedaan Bendo Jawa dengan Bendo Sunda, dan sekarang Bendo Sunda sudah banyak yang memakainya
Ikat kepala yang dulu sudah ada seperti Totopong sampai sekarang tidak dihilangkan, masih banyak yang memakainya.

3.  Pengaruh Kebudayaan Barat
 Pakaian orang Barat yang pernah datang ke Daerah Sunda tidak kalah besar pengaruhnya di masyarakat Sunda, seperti model pakaian Jas Pantalon, Jas Tutup, Jas Malik, Jas Sikepan (Prang wadana), dasi, sepatu dan lain lainnya, banyak dipakai orang Sunda dan akhirnya menjadi pakaian resmi Bangsa Indonesia. Untuk pakaian wanitapun sama halnya seperti Rok, Sluier dan perlengkapannya.


B. Pakaian Sehari hari

Pakaian sehari hari adat Sunda untuk pria adalah Baju Kampret, Samping Poleng (Sarung Poleng ), Beubeur, Iket (Totopong),Gamparan untuk bepergian.
Pakaian wanita untuk sehari hari berupa, Samping Kebat (kain panjang), Kebaya, Kutang, Beubeur , Karembong, Cindung Sobrah, Cucuk Gelung, Suweng, Ali, Gamparan ( disebut juga bakiak untuk dirumah ), Selop (Sandal) untuk bepergian serta Payung untuk dipakai bila bepergian untuk acara forrmil.
Tata rias yang dipakai sehari hari adalah, Bedak Dingin,Bedak Asam, rambut dirapikan dengan minyak Keletik, wangi wangian yang dibuat dari Daun Karniem dan Rampe Sungkem. Berbeda jauh dengan busana jaman sekarang yang sudah kena pengaruh budaya dari luar daerah Sunda dengan aneka macam pakaian seperti jas, rompi, dan lain sebagainya.


C.  Tata Rias Pengantin Sunda

Pada kira kira tahun 1920 ada beberapa tokoh pengantin Sunda di Parahyangan, diantaranya ada dua orang tokoh yang akan dikemukakan dalam sejarah ini ialah :
a. Nyi Raden Ratna dengan julukan Nini Puja
b. Nyi Mas Iyol
Kedua tokoh Penata Rias ini pada zamannya seringkali merias para kaum Bangsawan ( Menak Pasundan ).
Pada zaman mereka berkecimpung dalam dunia tata rias pengantin, calon pengantin diharuskan dipingit dulu, dan puasa atau mutih selama 40 hari sambil diluluri, agar pada hari pernikahannya bercahaya dan membuat orang yang melihatnya pangling
Kadang kadang mereka makan sirih, agar pada hari pernikahannya bibirnya menjadi merah, akan tetapi makan sirih itu dilarang di depan umum, Jaman dahulu bila ada tamu, sirih dihidangkan untuk dimakan oleh tamu, dan calon pengantin tidak boleh ikut makan sirih pada waktu makan sirih, karena mitosnya pada saat pernikahannya bertepatan dengan datang bulan.
Mengenai rambut, pada umumnya rambut anak gadis tidak boleh dipotong, karena bila nanti menjadi pengantin mereka tidak akan manglingi.
Seorang gadis boleh dipotong rambutnya hanya pada waktu ngeningan, yaitu sehari sebelum hari pernikahannya. Ngeningan itu biasanya meliputi : Motong amis cau dan ngerik, juga memotong rambut pada pelipis yang sekarang disebut " Kembang Turi ". Ngeningan dilakukan setelah ngibakan (memandikan). Hal ini merupakan suatu pengharapan dari orang tua, agar kedua mempelai dalam menempuh hidup baru (berumah tangga) akan mengalami sukses (bahagia). Selanjutnya meminta Do`a restu dari orang tua.



D.  Tata Rias Pengantin Wanita tahun 1920

Pada Jaman itu,pada waktu hari pernikahannya sebelum didandani, calon pengantin wanita dibersihkan dahulu mukanya dengan air hangat biasa, karena pada Jaman itu belum ada cleansing milk atau cream atau dasar bedak seperti sekarang ini. Setelah dibersihkan dengan air hangat langsung memakai bedak asam, saripohaci atau atal (pearl cream ) yang warnanya kekuning kuningan.
Kalau sekarang lipstik digunakan  sebagai pemerah bibir, pada jaman dahulu pengantin mengunakan buah Galinggem atau bibirnya menjadi merah karena diharuskan memakan sirih dan untuk melicinkan atau mengkilapkan digunakan minyak pale. Alis dibentuk dengan cara dikerik dan tidak memakai pensil alis, adapun untuk yang alisnya tipis atau gundul digunakan Rengasu yang terbuat dari arang dapur, atau arang yang dari bujur teko ( bawah teko ) yang dikerik dicampur dengan minyak kelapa sedikit. untuk cat kuku dipergunakan daun kembang pacar, Rambut disisir rapih ( tidak disasak ) sambil diberi minyak keletikyang telah dicampur dengan bunga kenanga. Rambut setelah disisir rapih dibentuk jabing, yang menutupi setengah daun telinga, lalu amis cau ( rambut halus di kening ) dikerik dan rambut halus di pelipis dipotong kemudian dibentuk setengah lingkaran ( sekarang disebut kembang turi ). Sanggul yang dipakai dinamakan " Kadal Menek ", berbentuk alip pakait sareng enun ( alip dikait dengan enun ), berasal dari Banten merembet ke daerah Parahyangan, oleh sebab itu dinamakan Sanggul Pasundan, dan ada pula yang menamakannya Sanggu Ciwidey.


E.  Cara memakai Kain/Kebaya/Perhiasan                                                              
 Pada pengantin Sunda kain pengantin wanita harus sama dengan kain pengantin pria, Kebayanya warna putih dan boleh juga warna hitam dari beludru, akan tetapi tidak diberi bef (lidah), hanya memakai surawe ( kraag ) saja. Biasanya kebaya hitam dipakai pada acara resepsi pernikahan dan untuk acara akad nikah ( walimahan ) harus memakai kebaya putih. Perhiasan yang mereka pakai berupa kalung, giwang, dan lain lainnya biasanya merupakan berlian dan emas asli.
Pengaruh barat ikut pula pegang peranan seperti : memakai Sluierdan mahkota yang dibuat dari lilin ( diadeem ). Diatas Sluier dipasang 7 atau 5 buah kembang goyang, di belakang telinga kanan diberi 3 buah untaian mangle susun, pada waktu itu tidak memakai mayang sari. sanggulnya diberi bunga anggrek atau melati. Adakalanya pengantin tidak mau memakai sluier, maka sanggul ditutupi penuh dengan bunga melati. Selainitu ada pula pengantin yang memakai Siger ( sekar arum ) lengkap. Biasanya yang memakai siger lengkap ini adalah puteri puteri bangsawan ( anak bupati ), sebagai alas kaki, menggunakan selop tutup warna kuning emas atau warna perak.Demikian menurut keterangan dari tokoh tata rias pengantin yang bernama Nyi Mas Iyol.

Selanjutnya ibu Nyi Mas Iyol bercerita sebagai berikut :

Pada saat ini dikalangan masyarakat banyak yang bertanya mengapa pengantin tidak memakai pakaian Pasmen ( beludru yang memakai garis emas ) padahal dulu sering dipakai, Hal tersebut ada riwayatnya, yaitu  sebelum tahun 1900 pengantin atau anak dikhitan selalu dihiasi pakaian mewah ( beludru, pakai garis pasmen ), padahal baju itu seharusnya dipakai oleh kaum bangsawan ( bupati atau sultan ).
pada waktu itu tidak ada bangsa kita yang menjabat Resimen ke atas, tapi karena banyak yang usul dan akhirnya para bangsawan menyetujui pakaian tersebut dipakai untuk pengantin dan anak khitanan, meskipun seharusnya pakaian itu dipakai oleh kaum Bangsawan.
Menurut cerita, di Bandung ada seorang Lurah yang bernama "Hasan" yang baru selesai menikahkan anaknya, kemudian ia mendatangi seorang kaya di suatu kampung di luar daerahnya dengan memakai baju bekas pernikahan anaknya, kepada orang kaya tersebut Lurah Hasan mengaku sebagai Kanjeng Dalem (Bupati) dengan diiringi pengawal yang semuanya bohong belaka, jadi tujuannya hanya untuk menipu. Suatu waktu ia mendatangi pula seorang kaya dan mengaku sebagai Controleur (pengawas yang biasanya dijabat oleh Belanda Peranakan ), kemudian ia menuduh bahwa orang kaya tersebut telah membuat uang palsu dan uang yang berada di rumah orang kaya itu disita semuanya "untuk diperiksa di kota" katanya, orang kaya itu esok harinya harus datang ke kantor tuan Controleur, lalu uang sekarung itu diangkut ke rumahnya.
Keesokan harinya si orang kaya tersebut datang ke kantor Controleur yang asli, akhirnya terjadi keributan, sejak saat itu semua orang yang mempunyai baju pasmen dirampas, dan akhirnya si penipu Lurah Hasan ditangkap. Inilah riwayat sebab sebabnya pada waktu itu pengantin tidak menggunakan baju pasmen lagi, kecuali oleh anak anak Bangsawan (Menak).
Demikianlah keterangan dan cerita dari ibu Nyi Mas Iyol. Rupanya mengenai baju Pasmen itu berlaku hanya untuk sementara waktu saja, buktinya sekarang sudah banyak dipakai lagi. Jelas dengan adanya pergantian jaman tentunya akan banyak pula perubahan perubahan, yang penting adalah keaslian dari pakaian itu harus tetap dipelihara. Pada umumnya pengantin menginginkan dirinya dirias bagaikan ratu ratu ataupun puteri puteri dari kerajaan walaupun bukan keturunan bangsawan.
Dengan adanya penata rias yang siap meminjamkan pakaian, maka siapapun dapat memakai pakaian itu pada waktu pernikahannya dengan jalan menyewa. model dan corak pakaian akan berubah sesuai  dengan trend jamannya.


F.  Tata Rias Pengantin Pria Tahun 1920 

Menurut keterangan Ibu Nyi Mas Iyol, pada hari pernikahannya pengantin didandani sbb:
Wajah pengantin Pria di beri bedak dingin yang tipis sekali, Kain yang digunakan sama dengan yang digunakan pengantin wanita, yaitu kain Rereng Eneng atau kain Rereng Solo Doktor ( Rereng Daun Pete ), Sido Mukti. Memakai stagen yang disebut Epek atau Beulitan ( sekarang disebut pelangi ), Dibuat dari kulit macan tutul (loreng), lalu pakai Katimang ( ikat pinggang) yang dinamakan "Jalabrah", biasanya lebar Jalabrah 1/3 dari lebar epek yang terbuat dari beludru, sisi luar depan disulam dengan benang perak atau benang emas, yang terbuat dari Barlem atau emas. Pinggang bagian tengah diberi rambu (kewer) yang terbuat dari kulit macan tutul, panjang satu jengkal, lebarnya sama dengan lebar epek (pelangi).
Jas Pengantin pada waktu itu dinamakan Prang Wardana, terdiri dari jas tutup, atau jas malik (sikepan) sama dengan baju taqwa hanya bahannya lain dan bedahan jas ini meniru pakaian jendral-jendral jaman itu dengan memakai kancing mas berderet kiri kanan berkilauan, dibagian belakang ada lengkungan (cowak) dikolowongkan untk memasang Duhung (Keris), Duhung bisa didepan atau dibelakang.
Selain jas Prang Wadana juga boleh memakai baju Senting ( di Jawa Tengah disebut Baje Kelet ), ialah baju dalamnya seperti jas tutup, biasanya bagian bawah belakangnya memakai cowak.
Mengenai Jelabrah,Epek dan perlengkapan pinggang lainnya ada persamaan dengan Prang Wadana sekarang, (hanya Prang Wadana sekarang pada jas bagian belakangnya cowak sedikit, dan memakai keris pendek ( kujang ) panjangnya satu jengkal.). Untuk tempat keris (kujang) digunakan slobong (merupakan cincin) namanya uncal dipasang pada bagian depan sebelah kiri, menggantung seperti membawa pedang. 
Untuk tutup kepala dikenakan Udeng (Bendo),yang telah diberi perhiasan yang disebut susumping (Bros), tidak lupa memakai selop tutup warna hitam terbuat dari kulit dan juga tali bandang yang terbuat dari emas.
Pada masa itu warna baju pengantin Sunda berwarna putih dan hitam saja, hal ini berkaitan dengan daerah Banten. Kepercayaan yang digunakan untuk merias pengantin Sunda terutama berasal dari Sunda KanekesCiparahyangan di gunung Krang Banten. Dekat daerah Baduy ada sebuah sungai bernama Ciparahyangan, airnya sangat bening dan penduduk disitu mengganggap daerah keramat. Para pengantin wanita di daerah itu diharuskan memakai pakaian warna putih yang menandakan kesucian dan tidak bernoda, menurut kepercayaan di daerah itu, bila sang Rama datang, pengantin akan bercahaya ( cantik sekali). 
Warna hitam menunjukkan bahwa kedua pengantin bertekad sehidup semati, tidak akan ternoda oleh orang lain, mereka tetap setia (pageuh maneuh) silih asuh, silih asih.


G. Perkembangan Tata Rias Pengantin Sunda 

Tahun berganti tahun, seirama dengan itu penata riaspun bertambah pula, diantaranya Ibu Nanni Kusumah dan pada sekitar tahun 1958 diikuti oleh Ibu Dana Sutisna Widjaya, Ibu Ismail, Ibu Rachmat, Ibu Cece dan lain-lain. Mereka saling menampilkan kreasi tata rias pengantin. Pada sekitar tahun 1960 hiasan-hiasan sanggul makin diperindah oleh tokoh-tokoh tersebut seperti sanggul-sanggul Mangle Sisir, Mangle Pasung, Penata bunga, Puspasari dan lain-lain, tetapi dalam pembuatannya tidak sama ( tidak seragam ), jadi masing-masing mempunyai kreasi sendiri-sendiri.
Untuk menanggulangi ketidak seragaman ini, Departemen Pendidikan mengadakan pembinaan terhadap penata rias umumnya yang ditangani oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat dan pada tanggal 17 Maret 1974 PDK menyelenggarakan Ujian Nasional. Ujian Nasional (pada saat itu disebut ujian Negara) yang pertama kali ini menimbulkan kesulitan untuk para penata rias, karena masing-masing nara sumber mempunyai pendapat yang berbeda mengenai jawaban dari pertanyaan pertanyaan mata ujian teori.
Dari kegiatan pembinaan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat inilah akhirnya lahir organisasi profesi yang dahulu bernama IPPI Melati dan sekarang bernama HARPI Melati. Kiprah organisasi ini tidak hanya meliputi seluruh Indonesia tapi juga ke manca negara.
Kegiatan organisasi ini adalah mengembangkan Seni Tata Rias Pengantin Indonesia, termasuk Pengantin Sunda, sehingga Tata Rias Pengantin Sunda dapat berkembang selaras dengan perkembangan budaya dan seni rias Indonesia. 

Friday, July 22, 2016

Sejarah Rias Pengantin Jogja Solo


Seorang wanita dengan busana pengantin adat Jawa tersenyum bahagia bersama sang arjuna di kursi pelaminan, seorang tamu berhenti sejenak untuk meneliti pengantin wanita yang tampak bersajaha dan menawan. Dengan lipstik merah menyala, alis bercabang seperti tanduk rusa, paes lancip tepat berpusat di puncak hidung serta ditambah lipitan kain dodot yang membungkus tubuh semakin memancarkan aura puteri Jawa.
Sebagian orang mungkin menganggap riasan tradisional dengan segala kelengkapannya terlihat kuno atau tidak mengikuti zaman. Akan tetapi banyak juga generasi muda yang justru menyenangi riasan tersebut. Tidak hanya ingin melestarikan budaya, sebagian pasangan yang asli keturunan Jawa, sengaja memilih pakaian kebesaran pengantin Jawa sebagai wujud apresiasi kepada tradisi.
Paes Solo Putri Basahan
Paes Ageng Jogja


Berawal dari Perjanjian Giyanti
Seni melukis wajah atau merias sudah lama tumbuh, sejarah mengatakan bahwa pada masa dinasti mataram terbentuklah sebuah perjanjian, Perjanjian Giyanti, yang berisi tentang pemisahan daerah kekuasaan menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perjanjian itu juga disebutkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berhak atas pusaka budaya, Paes Ageng. Sehingga Kasunanan Surakarta Hadiningrat membuat paes yang hampir mirip dengan nama Paes Solo Basahan. Karena berasal dari akar yang sama tidak terlalu membuat perubahan yang drastis, perbedaan ada di Paes Ageng yang lebih runcing dibanding Paes Solo Basahan yang agak membulat.
Di Yogyakarta terdapat 6 jenis tata rias dan busana yaitu Yogya Paes Ageng, Yogya Paes Ageng Jangan Menir, Yogya Paes Ageng Kanigaran, Yogya Puteri, Yogya Puteri Kasatriyan Ageng Malem Selikuran, dan Yogya Puteri Kasatriyan. Sementara di Solo terdapat Solo Basahan dan Solo Puteri.
Jika dicermati, sesungguhnya pembagian di atas lebih cocok untuk pengklasifikasian tata busananya, sedangkan untuk riasan adat Yogyakarta jelas terlihat pada bentuk cengkorongan paes(pola rias) dan pemakaian prada (serbuk emas). Yogya Paes Ageng, Yogya Paes Ageng Jangan Menir, Yogya Paes Ageng Kanigaran memakai prada di tepi paes, sementara Yogya Puteri, Yogya Puteri Kasatriyan Ageng Malem Selikuran, dan Yogya Puteri Kasatriyan membentuk cengkorongan paesyang melengkung lembut tanpa bubuhan prada. Sama-sama mempunyai bentuk cengkoronganyang agak membulat seperti Paes Yogya Puteri, Paes Solo Basahan mempunyai sedikit perbedaan yang terletak pada hiasan ronce melati pager timun, sementara untuk Paes Ageng di Yogyakarta membentuk gulungan panjang yang disebut gajah ngoling.
Di samping itu pula, di antara Paes Solo Basahan dan Paes Solo Putri terdapat perbedaan padapidih yang dipakai. Jika umumnya pidih yang dipakai berwarna hitam, lain halnya dengancengkorongan Paes Solo Basahan yang menggunakan pidih berwarna hijau. Pada Paes Solo Putri,cengkorong diisi dengan pidih/lotho berwarna hitam.
Paes Solo Putri Basahan
Paes Ageng Jogja

Cengkorongan Paes dan Proses Ngerik
Lengkungan-lengkungan yang terdapat pada paes terdiri dari beberapa bagian, yakni penunggul(Yogya) atau gajahan (Solo) yang berada tepat di tengah dahi yang mengandung arti sesuatu yang paling tinggi, paling besar, dan paling baik. Tepat di bawah penunggul, disebut dengan pengapityang ukurannya lebih kecil dan runcing. Pengapit diibaratkan sebagai penyeimbang antara pendamping kanan dan kiri. Di antara pengapit dan godheg, ada penitis yang berbentuk seperti potongan daun sirih sebagai tanda kebijaksanaan. Godheg sendiri berada tepat mengisi cambang, anak rambut di samping telinga. Bentuknya yang mengerucut dan runcing tampak seperti mangot(pisau dapur) yang bermakna agar seseorang mengetahui asal-usulnya. Namun sebelum dipaes, beberapa hari sebelumnya mempelai akan dikerik terlebih dahulu oleh juru rias atau dukun manten.
Mengerik anak-anak rambut terkadang menjadi hal yang memberatkan bagi sebagian kecil mempelai wanita karena selepas hari pernikahan sisa-sisa kerikan akan membekas. Perlu sekitar sepuluh hari untuk menumbuhkan anak-anak rambut seperti semula. Namun tahu kah Anda simbol dari pengerikan dan alasan mengapa seorang mempelai wanita wajib dikerik sebelum dipaes?
Kerik bagi pengantin perempuan Jawa melambangkan berubahnya status dari lajang menjadi seorang istri. Mempelai wanita yang dikerik, tidak saja bertujuan menghilangkan anak rambut agar wajah bercahaya, ngerik juga bermakna untuk membuang sial. Semua kejadian buruk yang telah terjadi pada masa lalu dihilangkan bersama dengan anak-anak rambut yang telah dikerik.

Langkah untuk membersihkan pidih pada paes:
1. Alat yang diperlukan untuk pembersihan pidih ialah spatula atau bila tidak ada sendok untuk mengerok pidih.
2. Kerok pidih ke arah atas menuju rambut, agar tidak berantakan mengotori wajah.
3. Biasanya makeup artist akan memberikan cairan khusus pembersih paes. Namun kalau pun tidak, dapat menggunakan baby oil untuk menghilangkan noda pidih yang masih tertinggal.
4. Caranya, tuangkan cairan pembersih pada tisu basah, hindari menggunakan tisu kering karena akan terasa perih pada dahi yang habis dikerik. Lalu lap dahi ke arah atas hingga bersih.
5. Membersihkan rambut, buka helaian rambut dan lap rambut yang terkena pidih sampai pidihyang melekat agak hilang.
6. Terakhir, cuci wajah dan rambut untuk menghilangkan bekas-bekas paes yang masih melekat.